DCNews.com, Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan langkah strategis menghadapi dampak perang tarif yang dipicu Amerika Serikat, termasuk pembentukan satuan tugas (satgas) pemutusan hubungan kerja (PHK) dan deregulasi untuk melindungi sektor padat karya seperti tekstil dan udang.
Dalam konferensi daring yang membahas perkembangan diplomasi perdagangan Indonesia-AS, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu mengatakan pemerintah sedang mempelajari dampak dari kebijakan tarif resiprokal terbaru Presiden AS Donald Trump terhadap sektor-sektor yang berisiko tinggi mengalami gangguan ekonomi dan PHK massal.
“Khusus untuk beberapa sektor yang akan terkena dampak, terutama industri padat karya dan industri udang, itu sedang dipelajari,” ujar Mari dikutip, Sabtu (19/4/2025).
Mantan Menteri Perdagangan (Mendag) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menambahkan bahwa langkah mitigasi tengah dipertajam melalui pembentukan satgas PHK, menyusul usulan Presiden Prabowo Subianto dalam sarasehan ekonomi di Jakarta, 8 April lalu.
Sementara Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menyambut baik rencana tersebut. Menurutnya, satgas PHK bukan hanya untuk menangani pemutusan hubungan kerja, tapi juga untuk memperluas kesempatan kerja. Di sisi lain, pemerintah juga menyiapkan satgas deregulasi yang bertujuan meningkatkan daya saing industri padat karya serta mempercepat arus investasi, terutama pada sektor tekstil, produk tekstil, dan alas kaki.
Kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan Presiden Trump pada 2 April 2025 menetapkan tarif impor sebesar 32% untuk Indonesia. Negara-negara ASEAN lainnya juga terdampak, seperti Vietnam (46%), Kamboja (49%), dan Thailand (36%). Namun, dalam pernyataan lanjutan pada 9 April, Trump memberikan jeda penerapan tarif selama 90 hari bagi sebagian besar negara—termasuk Indonesia—kecuali China.
“Kami masih akan bernegosiasi dan belum pasti apa yang akan terjadi dalam 30–60 hari ke depan,” ujar Mari.
Langkah antisipatif ini menjadi ujian awal kerja sama ekonomi bilateral era pemerintahan baru di kedua negara, serta ketahanan sektor industri dalam menghadapi gelombang proteksionisme global. ***

