DCNews, Jakarta – Tujuh tahun lalu, di tengah ledakan bisnis pinjaman online dan maraknya pinjol ilegal yang menjerat jutaan orang, pemerintah melalui OJK membatasi bunga pinjaman fintech di angka 0,8% per hari. Di balik keputusan itu, ada tarik-menarik kepentingan: industri ingin ruang bebas menentukan tarif, sementara regulator diburu tekanan publik untuk melindungi konsumen.
Kisahnya bermula pada 2018, saat industri fintech lending di Indonesia sedang menapaki masa emas sekaligus masa liar. Pinjol ilegal beroperasi bak jamur di musim hujan, menagih utang dengan teror, dan mematok bunga selangit tanpa pengawasan hukum. Di sisi lain, pemain resmi yang terdaftar di OJK masih meraba-raba model bisnis dan perhitungan risiko.
“Biaya platform masih tinggi, data peminjam terbatas, sehingga risk profile belum bisa diukur,” ujar Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah, dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip Jumat (15/8/2025).
Bagi AFPI, penetapan bunga 0,8% adalah kompromi. Dari kacamata industri, angka itu lahir bukan semata-mata dari hitungan ekonomi, tapi juga dari tekanan moral dan politik. Regulator ingin memastikan pinjol legal bisa dibedakan dari yang ilegal—bukan hanya dari izin usaha, tapi juga dari cara meminjamkan uang.
“Kala itu, pelaku usaha sebenarnya ingin bunga tidak diatur. Tapi OJK, dengan suasana batin waktu itu, menghadapi maraknya pinjol ilegal yang membuat publik resah. Banyak orang merasa terintimidasi dan diperlakukan tidak fair,” kata Kuseryansyah.
Keputusan ini tidak lahir di ruang hampa. Sumber internal yang memahami proses negosiasi mengungkap, OJK sempat menimbang angka yang lebih rendah, namun khawatir membunuh industri yang baru tumbuh. AFPI pun melobi, membawa riset dari praktik negara lain seperti Inggris untuk membenarkan bahwa 0,8% adalah “titik aman” sementara.
Seiring waktu, data industri mulai matang. Basis data peminjam membesar, algoritma penilaian risiko semakin akurat, dan biaya operasional menurun. Itu membuka jalan bagi penurunan bunga bertahap—dari 0,8% menjadi 0,4% pada 2023, dan 0,3% pada awal 2024.
Namun, meski penurunan ini digadang sebagai keberhasilan, sebagian pemerhati keuangan menilai regulator belum cukup tegas. “OJK memang berhasil menekan bunga, tapi angka 0,3% per hari itu setara 109,5% per tahun—masih sangat tinggi untuk standar perlindungan konsumen,” kata salah satu analis yang enggan disebutkan namanya.
Bagi AFPI, batas bunga tetap penting sebagai pagar. “Tidak boleh lebih dari itu. Tapi kalau mau di bawah, silakan,” tegas Kuseryansyah.
Pertanyaan yang tersisa: apakah industri akan menurunkan bunga demi misi sosial, atau mempertahankannya demi margin keuntungan? Jawabannya mungkin akan menentukan babak berikutnya dalam perang panjang melawan jeratan utang digital di Indonesia. ***

