DCNews, Jakarta — Hanya dalam rentang tiga bulan, gelombang kejahatan siber (cyber crime) di Indonesia telah menggerus pundi-pundi masyarakat hingga Rp476 miliar. Angka yang diungkap Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nezar Patria ini menjadi alarm keras bahwa ruang digital kian berbahaya dan rawan penipuan.
“Berdasarkan data pemerintah, sepanjang November 2024 hingga Januari 2025, kerugian akibat kejahatan siber mencapai Rp476 miliar,” kata Nezar dalam keterangannya, Senin (11/9/2025).
Ia menegaskan, ancaman ini bukan sekadar statistik melainkan krisis yang menuntut aksi cepat dan kolektif. Hingga pertengahan 2025, pemerintah mencatat 1,2 juta laporan penipuan digital masuk ke sistem pengaduan publik.
Nezar menyebut, upaya melawan kejahatan siber akan menggabungkan penguatan regulasi, literasi digital, dan pemanfaatan teknologi canggih seperti kecerdasan artifisial (AI) dan machine learning untuk deteksi dini dan pencegahan.
“Teknologi tidak boleh berhenti pada jargon inovasi. AI harus menjadi solusi konkret untuk memperkuat pertahanan masyarakat dari ancaman digital,” ujarnya.
Nezar juga menekankan pentingnya kedaulatan data dan teknologi, mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh terjebak dalam “kolonialisme digital” dan eksploitasi data oleh kekuatan asing. Menurutnya, visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto menggarisbawahi kemandirian teknologi nasional berbasis kemampuan dalam negeri.
“Isu ini menjadi perhatian global, terutama bagi negara-negara yang rentan terhadap pencurian data. Inisiatif seperti AI for All harus menjadi model kolaborasi industri digital,” tegasnya.
Untuk itu, Kemkomdigi RI berkoordinasi dengan aparat penegak hukum, termasuk Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, untuk menindak pelaku spam dan scam dari dalam maupun luar negeri.
Namun, di tengah wacana kedaulatan data, muncul kontroversi: Indonesia dan Amerika Serikat baru-baru ini menyepakati transfer data pribadi lintas negara dalam kerangka negosiasi tarif dagang. Kesepakatan itu menuai kritik karena dinilai berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). ***

